26 September 2012

hal terakhir


Aku mendesah. Dia berjalan kemari, dengan senyuman khas yg selalu ditunjukannya. Aku menutup buku yg sedang kubaca dan segera beranjak dari tempat itu.
''heii! Tunggu!'' serunya sambil berlari. Aku masih berjalan tak memperdulikan panggilannya. Apa perkataanku kurang jelas untuknya?
''kenapa kau selalu pergi setiap melihatku?'' tanyanya sambil cemberut setelah berhasil mensejajarkan langkahku.
''ada apa lagi?'' ucapku tak memperdulikan perkataannya.
“Tidak. Hanya ingin melihatmu,'' jawabnya sambil tersenyum.
Aku berhenti, menghela nafas letih. ''mengapa kau selalu begini?'' aku menatap kearahnya. ''apa perkataanku kurang jelas?''
''dan apa perkataanku juga kurang jelas? Aku bersungguh sungguh saat mengatakan aku tak akan menyerah,'' ucapnya tegas.
''ini sudah 3 bulan. Apa kau tak letih?''
''harusnya aku yg bertanya seperti itu,''
''aku sudah katakan padamu, berhenti mendekatiku, aku melakukannya demi kebaikanmu.'' aku mengalihkan tatapanku.
''tidak. Aku tidak akan berhenti. Aku mencintaimu, Ra, dan aku tidak akan berhenti sampai kau mau mengakui perasaanmu'' katanya sambil menatapku lekat.
''sudah ku bilang, aku tak ada perasaan apapun padamu,'' ucapku lalu segera pergi dari sana, baru beberapa langkah tiba tiba dia menghentikan langkahku dgn seruannya
''kau boleh membohongiku, tp jangan pernah membohongi perasaanmu.'' aku terpaku lalu segera tersadar dan melanjutkan langkahku.
Mengapa dia tak pernah mengerti, aku benar benar melakukan deminya. Ini semua....takkan berhasil.

*****

Aku masih ingin berharap untuknya, aku masih ingin tetap hidup.
Namun hanya untuk berandai-andai saja aku tak bisa.
Aku sudah tahu bagaimana ini akan berakhir maka aku takut untuk memulainya.
Aku terlalu pengecut untuk menghadapi resikonya.
Aku ingin melindungimu dari rasa kehilangan.
tapi…aku malah lebih menyakitimu bahkan aku menyakiti diriku sendiri.


Aku berlari menuju toilet kampusku melewati tatapan tatapan ingin tahu dari para mahasiswa. Menutup hidungku dengan tangan kananku. Sial!
Aku segara membuka pintu toilet dan menguncinya dari dalam lalu menuju wastafel dan membasuh hidungku. Tetestan tetestan berwarna merah pekat itu tak berhenti mengalir dari hidungku. Aku membenci ini semua! Tuhan aku benar-benar kesakitan.
Tiba-tiba ada yg menggedor pintu toilet. Membuatku tersentak kaget.
''Ra! Apa kau didalam?! Tolong buka pintunya!'' jeritnya dari luar.
Aku segera membersihkan sisa sisa darah dihidungku. Saat aku membuka pintu mataku mebelalak, wajah tegang dan khawatir itu terlihat jelas, begitu dekat.
''kau tidak apa apa?! Kau tahu? aku hampir gila karnamu,'' serunya penuh emosi dan dengan nafas yang belum stabil. Kau tahu? Bahkan aku lebih gila lagi saat melihatmu begini.
''aku tidak apa-apa. Tidak usah berlebihan,'' ucapku singkat.
Dia terlihat geram, menarik tanganku dan menghentakan tubuhku ketembok, mengunciku dengan kedua tangannya. Jarak kami begitu dekat, membuatku sesak nafas. Tolong, jangan begini, aku takut tak rela melepaskannya. Aku takut telalu dekat denganmu. Aku takut kecanduan.
Tatapannya begitu tajam, menusuk tepat keiris mataku. ''Maira, sampai kapan kau mau begini?'' dia menghela nafas. ''jangan menyakiti dirimu sendiri. Aku benar-benar mencintaimu. Aku mencintaimu dengan seluruh hidup yg ku miliki. Aku mohon...sekali ini saja, jujur padaku dan hatimu'' aku bergeming. Diam. Membisu. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku benar-benar letih berpura-pura. Tapi...
Aku menguatkan hatiku. lalu menarik nafas dalam. ''aku...tidak mencintaimu. Sampai kapanpun, bahkan 2 tahun lagi atau 10 tahun lagi aku tetap tak akan mencintaimu.'' tuhan, bahkan untuk mengakuinya saja aku takut.
Dia tersenyum lirih, melepaskan kunciannya dan memberi jarak. Dia benar-benar terlihat kecewa. ''terimakasih,'' ucapnya. ''aku menghargai jawabanmu. Maaf kalau selama ini aku mengganggumu. Maaf untuk setiap waktu yg terbuang. Aku mencintaimu'' setalah mengatakannya dia berlalu dari sana.
Semua perasaan dalam hatiku tiba-tiba membludak membuat tetesan-tetesan air bening keluar dari mataku. Aku terduduk. Menangis. Menyesali takdir yg terlalu kejam ini.
Aku memukul mukul dadaku, berharap dapat meredakan sedikit rasa sesak ini, namun...aku gagal.
Tuhan….mengapa terasa sangat menyakitkan?
Tiba-tiba kepalaku pusing, sakit seperti terhantam benda keras. Aku mengerang, memegangi kepalaku yang rasanya seperti mau meledak, dan terasa ada cairan yang keluar dari hidungku. Darah. Semuanya mulai mengabur dan gelap. Aku jatuh pingsan.

******

Sudah satu minggu aku dirawat dirumah sakit ini semenjak kejadian itu. Keadaanku semakin memburuk. Penyakit ini benar-benar menggerogoti tubuhku. Membuatku tak berdaya, membuatku benar-benar kehilangan harapan. Aku kritis.
aku tahu tidak ada sama sekali lagi harapanku untuk hidup. Dan aku dapat merasakannya, ajalku sebentar lagi akan tiba. “ibu, aku ingin bertemu dengan adimas,” ucapku lirih pada ibuku.
“baik, ibu akan menyuruhnya datang kesini.” Ucap ibuku, suaranya parau. Aku tahu, ibuku menangis setiap hari hanya karena aku. Lalu ibuku keluar dari ruanganku.
Aku benar-benar sudah tidak sanggup. Jika memang hanya hari ini saja aku bisa bertahan. Jika memang aku hidup hanya sampai hari ini. Tolong sebelum aku pergi, aku ingin mengatakannya tuhan. Hanya satu kalimat itu saja. Aku tak ingin pergi dengan  penyesalan. Walau hanya sekali.
Orang itu berdiri didepan pintu ruanganku. Dia menatapku dalam. Mata indahnya memerah, menandakan dia habis menangis. Aku tersenyum dan menyuruhnya menghampiriku.
“kenapa kau tak pernah mengatakannya?” ujarnya lirih. Buliran-buliran air mata itu menetes dari matanya. Aku sakit melihatnya seperti ini.
“apa kau tahu? Aku hampir mati berdiri saat mendengarnya,” dia menangis, benar-benar menangis.
“tolong jangan menangis,” ucapku dengan sisa tenagaku. Tuhan tolong bantu aku, kali ini saja. “aku ingin saat-saat terakhirku ini tidak ada air mata,”
“aku mencintaimu adimas. Aku mencintaimu dengan setiap hembusan nafasku. Aku mencintaimu dengan seluruh sisa hidupku. aku mencintaimu, sangat-sangat mencintaimu” aku berhenti sejenak, sebentar lagi tuhan, tolong sebentar lagi.
“tolong berjanjilah padaku, kau akan bahagia,”
Dia menggenggam tanganku, masih dengan air mata yang menglir dipipinya.  “aku berjanji,” ucapnya lirih.
Aku tersenyum. “beri tahu orang tuaku, aku mencintai mereka,” dia mengangguk.
“baiklah, aku lelah, aku ingin tidur,” perlahan-lahan aku menutup kedua mataku, kedua mata yang tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya.
Terima kasih tuhan, aku bahagia. Aku tersenyum dalam tidurku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar